Sunday 26 April 2015

Pendekar dan Ayam Jago



 by : AA Navis

Ada satu desa kecil. Banto Barayun namanya. Kalau dicari di peta, letaknya persis pada garis khatulistiwa di pulau yang dulu dinamakan Pulau Mas.


Pada masa dulu di sana tinggal seorang bernama Pendekar Sunsang. Perilakunya serba tidak lazim. Apa pun yang dilakukanya serba berlawanan dengan kebiasaan orang lain. Kalau orang ke mudik, dia ke hilir. Kalau orang pergi berburu ke hutan, dia pergi menjala ikan ke sungai. Kalau ramai-ramai orang ke sawah, dia datang waktu orang pulang. Kalau orang menyuap dengan kanan, dia dengan kiri. Tapi dia bukan orang jahat. Cuma tingkah lakunya Sunsang, kata orang.

Tapi dia betul-betul seorang pendekar, pada masa itu termasuk golongan elite yang tak tersentuh hukum. Sebagai pendekar dia tidak perlu pekerjaan apa-apa. Misalnya, jadi petani, pedagang, atau birokrat, karena kehidupan begitu ramah mereka. Misalnya kalu mau makan, dia masuk saja ke warung. Makanan terhidang. Tak perlu bayar. Kalau perlu pakaian, masuk saja ke toko, pemilik-nya memberi dengan Cuma-Cuma. Dia tidak perlu bergaya preman karena dia pendekar. Apabila Pendekar Sungsang dapat rezeki, ditraktirnya siapa saja yang kebetulan ada di sana. Dihadiahinya pemilik warung dan toko. Dengan demikian legitimasinya sebagai pendekar dihormati. Itu beda dengan yang lain, seperti politisi umpamanya, yang bisa mengumbar janji untuk kemudian dimungkiri. Namun jika orang tanya apakah golongan elite itu sebagai pendekar maupun politisi itu tergolong mahluk yang bernasib baik.


Salah satu kegemaran Pendekar Sunsang yang sama dengan orang lain adalah pergi ke gelanggang adu ayam jago. Ayam jagonya bernama Sanggonani. Senama dengan lawan aduan yang di miliki Kinantan milik Raja Pagaruyung. Sama pula nasibnya dengan Sanggonani setiap berlaga, ayam jago Pendekar Sunsang lebih banyak kalah-nya. Ganjilnya apabila taruhan berlipat ganda dipasang pada pihak lawan, Sanggonani selalu menang.

Di berbagai negeri, ayam jago diberi bertaji pada salah satu kakinya. Taji semacam pisau kecil bermata dua yang setajam pisau cukur. Ketika ayam jago itu saling melajang melawan, dada atau leher salah satu atau keduanya akan terluka. Kemudian mati kehabisan darah. Yang mati dulu itulah yang kalah.

Adu ayam jago di negeri sekitar Pendekar Sunsang tanpa taji. Jago yang kalah akan lari atau keok. Maka ayam jago itu berlaga lama sekali. Ranggahnya, gombak daging di kepala, dan kulit kepala sampai luka berdarah. Ranggah jadi pegangan paruh lawan untuk melajang. Yang mulai merasa kalah akan menyembunyikan kepala ke sela paha lawan agar terhindar dari patukan paruh lawan. Bila tak tahan lagi jago itu lari.

Lain halnya dengan Sanggonani. Bila tidak kuat lagi, dia merunduk ke bawah kedua paha lawan. Jika lawan terlengah, dia melajang lagi. Lalu menyeruduk kembali. Pantang baginya lari. Setelah memukul lalu merangkul. Maka laganya lama sekali. Pemimpin gelanggang yang menjadi juri akan menentukan pemenang. Biasanya yang dinilai kalah selalu ayam jago Pendekar Sungsang. Akan tetapi bila semua petaruhan menjagokan lawan, Sanggonani berlaga luar biasa. Tidak sampai sepuluh kali saling melajang, lawanya sudah terbirit-birit lari. Ayam jago di negeri itu sangat dirawat. Sama seperti perkutut. Menu makananya terpilih seperti petinju profesional.

Sehabis musim menuai padi, negeri sekitar Banti Berayun mulai membuka gelangan adu ayam jago. Secara bergilir pada setiap pekan. Ketika tiba giliran Negeri Suranti, pangeran anak raja Indrapura akan ikut membawa ayam jagonya. Konon ayam jago itu hadiah dari pangeran Siam. Tubuhnya tinggi, pahanya besar. Dia sengaja datang untuk berlaga dengan Sanggonani, ayam jago Pendekar Sungsang dengan bertaruhan tinggi sebagai balas dendam karena dulu ayam pangeran itu pernah dikalahkan.

3 comments:

 
Facebook Twitter Google+ RSS
Back to Top